
Aktivitas pembelian kembali saham global diproyeksikan mencapai rekor $1,9 triliun pada 2025 menurut JPMorgan, Buyback agresif perusahaan AS hingga pasar global menopang harga ekuitas di tengah lemahnya IPO.
KabarPialang – Aktivitas pembelian kembali saham (share buyback) perusahaan di seluruh dunia tengah berada dalam tren yang sangat agresif pada 2025. Menurut laporan terbaru JPMorgan yang dirilis Kamis, nilai buyback global berpotensi mencapai $1,9 triliun, level tertinggi sepanjang sejarah.
Yang mencengangkan, hanya dalam delapan bulan pertama tahun ini, perusahaan-perusahaan sudah membukukan buyback senilai $1,37 triliun — angka yang setara dengan total sepanjang tahun 2024. Artinya, laju buyback tahun ini jauh lebih cepat dan menunjukkan kekuatan likuiditas korporasi dalam mendukung harga sahamnya.
Pertumbuhan 38% Jauh Lampaui Kinerja Saham
JPMorgan mencatat bahwa buyback global tumbuh 38% secara tahunan pada 2025, jauh di atas kenaikan rata-rata harga ekuitas yang hanya sebesar 15%. Fakta ini menunjukkan bahwa dorongan utama penguatan pasar saham saat ini bukan semata dari faktor eksternal atau fundamental ekonomi, melainkan dari strategi korporasi yang secara aktif menyerap saham beredar.
Meskipun nilainya rekor, JPMorgan menekankan bahwa rasio buyback terhadap total kapitalisasi pasar masih mendekati atau bahkan di bawah rata-rata historis. Dengan kata lain, meskipun jumlah dolarnya besar, secara proporsional terhadap ukuran pasar, aktivitas ini masih dalam batas yang relatif wajar.
Perusahaan AS Jadi Motor Buyback
Khusus di Amerika Serikat, buyback saham berkontribusi besar terhadap tren global. Volume pembelian kembali saham AS saat ini mencapai 2,6% dari kapitalisasi pasar ekuitas, hampir setengah dari puncaknya di 2007 yang pernah menyentuh 5%.
Menurut JPMorgan, kondisi ini menandakan adanya ruang pertumbuhan lebih lanjut. Jika rasio buyback AS kembali mendekati level pra-pandemi di kisaran 3–4%, pasar bisa menyaksikan tambahan sekitar $600 miliar buyback di atas laju tahunan yang sudah rekor sebesar $1,5 triliun.
Dengan demikian, perusahaan AS tidak hanya menjaga stabilitas harga sahamnya sendiri, tetapi juga berperan sebagai penopang utama likuiditas pasar ekuitas global.
IPO Lesu, Buyback Jadi Penopang Pasar
Salah satu konsekuensi dari agresifnya buyback adalah pasokan ekuitas publik terus menyusut. JPMorgan menyoroti bahwa aktivitas ini, ditambah dengan lemahnya kinerja Initial Public Offering (IPO), telah membuat jumlah saham beredar mengalami penurunan bersih.
Fenomena tersebut telah berlangsung selama empat tahun berturut-turut — sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah pasar ekuitas modern. Dengan berkurangnya jumlah saham yang tersedia di pasar, mekanisme penawaran dan permintaan otomatis menciptakan dukungan positif bagi harga saham.
Buyback Jadi Strategi Utama Korporasi
Buyback bukan hanya mekanisme teknis, melainkan juga strategi manajemen modal perusahaan. Ada beberapa alasan mengapa perusahaan global begitu agresif melakukan buyback di 2025:
-
Dukung Harga Saham – Dengan menyerap saham beredar, perusahaan menciptakan efek scarcity (kelangkaan), sehingga harga saham cenderung lebih stabil atau naik.
-
Efisiensi Pajak – Dalam beberapa yurisdiksi, buyback dianggap lebih menguntungkan dibanding dividen tunai karena implikasi pajaknya berbeda.
-
Sinyal Kepercayaan Diri – Manajemen ingin menunjukkan bahwa mereka percaya saham perusahaan undervalued, sehingga layak dibeli kembali.
-
Penggunaan Kas Berlebih – Daripada menganggur, dana kas perusahaan dialokasikan untuk buyback yang bisa memberi dampak langsung pada pemegang saham.
Momentum Pasar Setelah “Hari Liberasi“
JPMorgan sebelumnya, dalam publikasi 7 Mei, mencatat bahwa buyback sudah menunjukkan tren sangat kuat sejak paruh pertama tahun 2025. Aktivitas bahkan melonjak pada bulan April dan Mei, ketika perusahaan-perusahaan “mendukung pasar ekuitas setelah Hari Liberasi.”
Momentum ini memperlihatkan bahwa buyback kini bukan hanya strategi individual perusahaan, melainkan juga faktor kolektif yang menopang kepercayaan pasar.
Dampak Jangka Panjang bagi Investor
Bagi investor, lonjakan buyback global bisa menjadi pedang bermata dua.
-
Positif: Buyback meningkatkan laba per saham (EPS) dengan mengurangi jumlah saham beredar, mendukung harga saham, dan menciptakan return lebih tinggi bagi pemegang saham.
-
Negatif: Ketergantungan berlebih pada buyback dapat menimbulkan kerentanan jika kondisi ekonomi memburuk, karena perusahaan mungkin mengorbankan investasi produktif demi menyokong harga saham.
Dengan nilai yang diproyeksikan menembus $1,9 triliun, buyback saham tahun ini akan menjadi tonggak baru dalam sejarah pasar modal global, sekaligus tantangan bagi investor untuk menilai apakah tren ini berkelanjutan atau hanya siklus sementara.
Survei JPMorgan memperlihatkan bahwa buyback saham global pada 2025 menuju rekor $1,9 triliun, melonjak 38% dari tahun sebelumnya. Perusahaan AS menjadi motor utama dengan potensi tambahan ratusan miliar dolar jika rasio buyback mendekati level pra-pandemi.
Di tengah pasokan IPO yang lemah, buyback menjadi penopang utama harga saham, menjaga pasar ekuitas tetap kokoh. Meski memberi sinyal kepercayaan diri korporasi, investor tetap perlu waspada terhadap risiko jangka panjang jika buyback dilakukan secara berlebihan.