
PT Timah Tbk (TINS) menghadapi penurunan produksi signifikan akibat izin tambang laut Oliver di Belitung mandek 1,5 tahun. Produksi bijih turun 32% dan penjualan anjlok 28% sepanjang semester I/2025.
KabarPialang – PT Timah Tbk (TINS), perusahaan tambang milik negara, tengah menghadapi tekanan besar akibat terhambatnya izin tambang laut di wilayah Bangka Belitung. Salah satu yang paling disorot adalah tambang laut Oliver di Laut Belitung. Proyek yang direncanakan sejak hampir dua tahun lalu tersebut belum juga dapat berjalan karena persoalan administrasi izin yang hingga kini belum tuntas.
Direktur Utama PT Timah, Restu Widiyantoro, mengungkapkan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI pada Senin (22/9/2025), bahwa eksplorasi di wilayah Oliver telah tertunda sekitar 1,5 tahun hanya untuk proses administrasi. Padahal, tambang laut Oliver diperkirakan memiliki potensi besar untuk mendorong peningkatan kinerja produksi perusahaan.
“Untuk pengurusan administrasi saja, khususnya di perairan Oliver, kami sudah merencanakan hampir dua tahun lalu. Namun, hingga saat ini, izin yang dibutuhkan belum juga selesai. Kami sudah menunggu 1,5 tahun,” ujar Restu.
Hambatan Administrasi Jadi Kendala Utama
Restu menambahkan, meskipun sejumlah kementerian telah membantu mempercepat proses, hambatan masih muncul di beberapa kantor administrasi di Jakarta. Situasi ini membuat manajemen TINS sulit memperkirakan kapan aktivitas produksi benar-benar dapat dimulai.
Selain masalah administrasi, proses menuju produksi juga memerlukan tahapan panjang. Setelah izin diperoleh, PT Timah masih harus mempersiapkan aktivitas pertambangan yang diperkirakan memakan waktu tambahan 1–2 tahun. Dengan kata lain, realisasi produksi dari tambang Oliver baru bisa terwujud setelah seluruh tahapan tersebut dilalui.
“Potensinya besar di Oliver dan beberapa wilayah lain. Namun, kami sudah bertahun-tahun menunggu izin yang belum juga keluar. Kami sangat membutuhkan arahan dan dukungan dari anggota dewan agar proses ini bisa dipercepat,” tambah Restu.
Tambang Lain Juga Terhambat Izin
Tidak hanya tambang Oliver, beberapa lokasi lain seperti tambang Briga di Bangka Tengah dan tambang Laut Rias di Bangka Selatan juga menghadapi nasib serupa. Hingga kini, izin operasional untuk wilayah tersebut belum juga diperoleh.
Dalam paparannya, PT Timah menyebutkan terdapat lima Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang tidak dapat ditambang akibat adanya perubahan zonasi. Perubahan ini terkait dengan kebijakan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PZWP3K) yang diterbitkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Akibat kebijakan tersebut, sejumlah wilayah tidak bisa memperpanjang IUP operasional karena tidak mendapatkan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL). Dampaknya sangat signifikan: total potensi sumber daya yang terhambat akibat perubahan zonasi mencapai 86.452 ton Sn.
Tumpang Tindih dengan Kawasan Hutan
Selain persoalan zonasi laut, PT Timah juga menghadapi hambatan terkait izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Beberapa IUP yang dimiliki perusahaan ternyata tumpang tindih dengan kawasan hutan produksi. Kondisi ini menyebabkan potensi sumber daya tambahan sebesar 8.334 ton Sn tidak bisa segera ditambang.
Hambatan-hambatan tersebut semakin menekan kapasitas produksi TINS di tengah permintaan global yang masih relatif stabil.
Dampak Langsung: Produksi dan Penjualan Merosot
Data kinerja semester I/2025 menunjukkan dampak serius dari tertundanya izin-izin tambang tersebut. Produksi bijih timah TINS tercatat anjlok 32% year-on-year (yoy) menjadi hanya 6.997 ton Sn, turun dari 10.250 ton Sn pada periode yang sama tahun lalu.
Produksi logam timah juga mengalami penurunan signifikan sebesar 29% yoy menjadi 6.870 ton pada semester I/2025 dibandingkan dengan 9.675 ton pada semester I/2024.
Penurunan produksi bijih dan logam otomatis menyeret volume penjualan. Sepanjang semester I/2025, penjualan logam timah hanya mencapai 5.983 ton, atau turun 28% yoy dibandingkan dengan 8.299 ton pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Tekanan terhadap Kinerja Perusahaan
Kondisi ini membuat kinerja PT Timah tertekan dari berbagai sisi. Penurunan produksi berimbas langsung pada pendapatan perusahaan, sementara biaya operasional untuk menjaga kegiatan penambangan tetap berjalan tidak bisa dihindari.
Manajemen pun menekankan perlunya dukungan dari pemerintah dan regulator agar hambatan administrasi dapat segera teratasi. “Tambang-tambang ini berpotensi besar menyumbang pendapatan negara. Namun jika izinnya mandek, potensi tersebut justru menjadi kerugian,” jelas Restu.
Perlu Percepatan Regulasi untuk Selamatkan Produksi
Kasus yang dihadapi PT Timah menjadi gambaran nyata bagaimana lambannya proses administrasi dan tumpang tindih regulasi bisa menghambat produksi perusahaan strategis. Dengan potensi sumber daya besar di Oliver, Briga, hingga Laut Rias, keterlambatan perizinan bukan hanya merugikan perusahaan, tetapi juga berpotensi mengurangi kontribusi terhadap penerimaan negara.
Jika izin tetap terhambat, PT Timah diperkirakan akan terus mengalami penurunan produksi di tahun-tahun mendatang. Oleh karena itu, percepatan perizinan dan penyelarasan kebijakan antarinstansi menjadi kunci untuk mengembalikan kinerja TINS ke jalur positif.