
Harga minyak dunia melonjak lebih dari 11% setelah serangan Israel ke Iran picu ketegangan baru. Apa dampaknya bagi pasar global? Simak ulasan lengkapnya di sini.
KabarPialang – Ketegangan geopolitik di kawasan Timur Tengah kembali memanas, memicu ketidakpastian global yang signifikan, terutama dalam pasar energi. Harga minyak dunia tercatat melonjak lebih dari 11% pada penutupan perdagangan pekan ini, menyusul aksi militer Israel terhadap Iran yang dikhawatirkan akan memicu eskalasi konflik berskala lebih luas.
Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, pada Jumat pagi mengonfirmasi dimulainya operasi militer bertajuk “Rising Lion“, yang secara langsung menargetkan fasilitas strategis Iran, termasuk pabrik rudal balistik, pusat penelitian nuklir, serta basis militer penting yang diyakini sebagai pusat perencanaan kekuatan Teheran.
Dalam pernyataan resminya, Gallant menegaskan bahwa operasi ini akan berlangsung selama beberapa hari ke depan, dengan tujuan utama mencegah pembangunan senjata nuklir oleh Iran. “Kami tidak akan membiarkan ancaman eksistensial berkembang di kawasan ini,” ujar Gallant.
Dampak Langsung terhadap Harga Minyak
Tak butuh waktu lama, sentimen pasar langsung merespons eskalasi konflik tersebut. Harga minyak jenis Brent dan West Texas Intermediate (WTI) bergerak naik tajam, menandai koreksi bullish signifikan. Ini menjadi lonjakan harga paling tajam dalam beberapa bulan terakhir.
Brent crude oil diperdagangkan mendekati level $77 per barel, mendekati resistance teknikal penting. Jika situasi makin memburuk, tak menutup kemungkinan harga akan menembus level tersebut. Sebaliknya, jika ada sinyal diplomatik atau tekanan global untuk meredakan konflik, support diprediksi berada di level $72 per barel.
Tak hanya karena konflik militer, lonjakan harga juga mendapat dukungan dari membaiknya hubungan dagang antara Amerika Serikat dan China. Dalam konferensi pers resmi, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, menyampaikan bahwa negaranya berkomitmen untuk mematuhi perjanjian dagang dan terus membuka ruang kerja sama. Hal ini menjadi angin segar di tengah ketegangan geopolitik yang sedang memuncak.
Iran Siap Membalas, Pasar Menahan Napas
Sementara itu, Iran tak tinggal diam. Sejumlah sumber keamanan tinggi di Iran menyebutkan bahwa serangan balasan sedang dibahas secara serius di tingkat tertinggi. Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, dikabarkan berada dalam kondisi sehat dan terus menerima laporan terbaru mengenai situasi konflik.
Pernyataan tersebut memperkuat sinyal bahwa eskalasi bisa berlanjut dalam waktu dekat. Tak hanya itu, Iran juga disebut-sebut tengah mempertimbangkan kerja sama militer strategis dengan sekutu regionalnya, termasuk Suriah dan Hizbullah, yang bisa memperluas cakupan konflik secara signifikan.
JP Morgan: Skenario Terburuk, Harga Minyak Bisa Naik Dua Kali Lipat
Dalam laporan terbarunya, JP Morgan menyatakan bahwa meskipun proyeksi dasar untuk harga minyak tetap berada di kisaran $60-an hingga pertengahan 2025, skenario ekstrem seperti konflik besar-besaran di Timur Tengah bisa mendorong harga minyak hingga dua kali lipat dari level tersebut.
Kondisi ini tentu akan berdampak besar, tidak hanya pada sektor energi, tetapi juga terhadap inflasi global, biaya transportasi, dan ketahanan ekonomi negara-negara berkembang yang sangat bergantung pada impor minyak.
Bagaimana Investor Harus Menyikapi nya?
Lonjakan harga minyak dalam situasi geopolitik yang tidak stabil biasanya dianggap sebagai safe haven bagi investor energi. Namun, volatilitas pasar juga meningkat, sehingga strategi investasi jangka pendek harus disesuaikan dengan manajemen risiko yang lebih ketat.
Para analis menyarankan untuk terus memantau perkembangan konflik, pernyataan dari badan energi internasional (IEA), serta kebijakan OPEC+ yang kemungkinan akan menyesuaikan pasokan dalam waktu dekat.
Dunia Waspada, Harga Minyak Jadi Barometer Geopolitik
Kembali bergejolaknya kawasan Timur Tengah membuktikan betapa rentannya pasar energi global terhadap dinamika politik dan militer. Kenaikan harga minyak lebih dari 11% bukan hanya angka dalam grafik, tetapi cerminan dari keresahan global yang harus segera direspons oleh komunitas internasional.
Selama belum ada sinyal deeskalasi dari kedua pihak, terutama Iran dan Israel, maka volatilitas pasar minyak dunia akan terus berlanjut. Negara-negara importir energi termasuk Indonesia harus bersiap menghadapi dampaknya terhadap harga BBM, inflasi, dan stabilitas fiskal.